Rabu, 16 Maret 2016

Cerpen Cinta Menyedihkan : Tujukan Jasadnya Part 2


Tunjukan Jasadnya Part 2
Waktu sudah menunjukkan pukul 08.00 pagi. Baru aku ingat terakhir aku tidur adalah pukul 4 sore kemaren. Itu pun hanya satu jam. Ini yang membuatku semakin lelah. Di kedua mataku seperti ada kunang-kunang.

“Kring....Kring...” Terdengar suara bel pintu seperti ada tamu. Awalnya aku diam saja dan enggan membukakan pintu itu. Tapi baru aku ingat, ibuku tidak ada di rumah.
“Iya, silakan masuk!” Suaraku halus mempersilakan masuk tamu yang tak diundang itu. Awalnya aku sedikit mengigau karena baru kali ini aku terjaga selama ini. Bibirku sulit tersenyum dan mataku sulit menunjukkan rasa semangat menerima tamu tersebut. Sebenarnya ingin bagiku menutup kembali pintu itu. Paling dia hanya tamunya ibu dan kebetulan orang yang dicari sedang tidak ada.
“Nak, boleh Ibu masuk.” Tamu itu memintaku mempersilakannya. Di tangannya seperti banyak cangkingan. Aku sangat terkejut. Tamu itu seperti orang yang pernah aku lihat. Tapi tak mungkin kalau orang ini adalah orang yang pernah aku temui. Maklum mata dan organ tubuhku sudah merasa letih. Dan aku takut konsentrasiku selama ini telah hilang. Lagipula aku juga orangnya tidak mudah mengingat wajah seseorang.
“Kamu lupa dengan saya? Saya Bu Marti. Orang yang pernah kamu temui.” Ibu itu memperkenalkan identitasnya kepadaku. Ternyata yang aku duga benar. Ibu-ibu tua yang waktu lalu aku kunjungi benar-benar ke rumahku. Aku agak tertegun dan tidak percaya. Awalnya aku meragukan pandanganku mengingat kondisiku yang terlalu letih karena bergadang dalam waktu yang lama. Apalagi kali ini ada merah-merah di bibir di mulut Ibu Marti.
“Iya Buk, silakan masuk. Ini rumah saya. Tidak terlalu besar seperti rumah Ibu memang tapi saya sudah terlalu betah tinggal di sini.” Perintahku terhadap Ibu Marti mempersilakan.Dalam waktu lama kami berdua hanya berdiam diri. Tidak ada sepatah kata pun setelah kami saling bertanya kabar. Mungkin karena aku sudah kehabisan akal akan mengenakkan percakapan seperti apa setelah akalku sudah diperas proposal skripsiku yang kedua ini.
“Begini Nak, Kamu masih memperkenankan tawaran Kamu kemaren Ibu jawab?” Tanya Bu Marti kepadaku.
“Tawaran yang apa Buk?” Jawabku pura-pura lupa. Lagi pula semua sudah terlambat. Kemaren ya kemaren, sekarang ya sekarang. Tema skripsiku sudah aku ganti. Bahkan aku sudah rela tidak tidur tiga hari hanya untuk menyelesaikan proposalku yang baru. Untuk apa datang kemari jika hanya ingin bercerita yang sudah kadaluarsa.
“Masak Kamu lupa? Kamu kemaren kan bertanya kepada Ibu tentang anak Ibu si Ridho agar mau jadi bahan penelitian Kamu?”
“Oh yang itu. Iya Buk. Tapi saya sudah menggantinya. Lagi pula dosen saya sudah menyetujui tema saya yang kedua.”
“Ya sayang sekali ya Nak. Padahal Ibu mau bercerita ke Kamu?” Tawaran terlambat. Coba kemaren, aku pasti tidak akan bergadang selama tiga hari seperti ini. “Ya sudah ya, untuk apa saya belama-lama di sini. Saya mau pergi saja.” Izinnya pamit. Aku lumayan lega mendengar pamitnya. Tidak ada lagi yang menganggu perjuanganku akan proposalku.
Aku pun mengantarkannya wanita tua ini. Kupegang tangan kirinya karena tangan kananya sudah memegang tongkat penyangga. Depan pintu, tiba-tiba naruniku mulai terketuk. Bagaimana bisa aku seolah mengusir wanita tua ini. Apalagi untuk menuju kesini saja dia sangat kesusahan jika jalan kaki. Meskipun aku sudah tak butuh, tak seharusnya aku menyia-nyiakan usahanya ke sini. Aku tahu maksud dan tujuan wanita tua ini ke rumahku. Selain dia ingin mencoba membantuku pasti dia juga igin bercerita tentang perjuangannya merawat putranya yang sakit jiwa selama ini. Aku lihat orangnya terlalu tertutup. Orang tertutup biasanya akan bercerita hanya dengan orang yang terlalu dipercaya. Sampai jauh-jauh dia datang ke rumahku hanya untuk bercerita kepadaku menandakan bahwa aku telah menjadi orang yang dipercaya.
“Ibu kita masuk ke dalam dulu! Ibu istirahat saja dulu. Jangan buru-buru! Lagi pula rumah Ibu jauh jika ditempuh dengan jalan kaki. Nanti saya antar saja pakai mobil saya yang lagi dibawa ibu saya. Kita menunggu ibu saya dulu.” Perintahku sambil menuntunnya ke kursi di teras.
Ibu itu bekenan duduk di tempat itu. Di sinilah cerita itu dimulai. Meskipun cerita itu awalnya sudah tidak membuatku bersemangat namun akhirnya aku mau mendengar ceritanya secara seksama. Air mata yang mengalir begitu derasnya dari kelopak matanya membuatku ingin segera menghentikannya saja. Perasaan sedih yang begitu memuncak menular kepadaku. Aku tak bisa habis pikir ada orang semalang ini.
Pasti benar waktu tidak akan bisa diputar kembali dan sudah menjadi takdir Tuhan akan hal itu. Manusia hanya bisa berharap, selebihnya hanya butiran kisah yang tertuai. Selama ini Ridho hanyalah anak angkat yang tidak tahu siapa bapak dan ibunya. Ridho dibesarkan ibu ini dengan tanpa pamrih. Bersama anak kandungnya Ranti, mereka hidup rukun.
Hingga kisah memilukan itu terjadi. Kebahagian yang semu berawal dari Ridho dan Ranti yang tengah duduk di bangku Sekolah Desar. Saling bersama, saling menjaga, saling menyayangi mereka bina seolah kakak-adik. Hingga perasaan yang terus berulang membuat mereka sadar bahwa ternyata selama ini mereka hanya salah memaknai. Perasaan itu bukanlah selayaknya hubungan saudara, melainkan perasaan kekasih laki-laki dan perempuan.
“Ini patung ini sengaja aku buat.” Kata Ridho kepada Ranti.
“Kamu pintar sekali membuat patung. Maaf aku tidak bisa membuat apa-apa. Padahal ulang tahun kita sama, tapi aku tidak memberi kamu hadiah apa pun. Aku hanya bisa berdoa untuk yang terbaik buat dirimu.” jawab Ranti kala itu. Tanggal ulang tahun Ridho yang tidak jelas membuat Bu Marti memutuskan mereka memiliki tanggal lahir yang sama.
Kala itu Bu Marti masih memiliki kebun teh yang begitu luas, bahkan yang terluas di kecamatan kami. Dia begitu terkejut melihat pahatan patung kuda yang dibuat putra angkatnya untuk putri kandungnya.
“Ridho! Bagaimana bisa kamu memotong pohon jati di depan rumah. Kamu tahu butuh lima tahun untuk menunggu pohon itu tumbuh sebesar itu.” Teriak Bu Marti terhadap Ridho.
“Bukan saya yang memotongnya.”
“Lalu siapa heh.” Sembari menjewer kuping Ridho.
“Paman Sugeng Bu. Tapi saya yang menyuruhnya.”
Sugguh lucu cerita Bu Marti pada bagian kisah ini. Hanya karena cinta monyet bocah SD, sang laki-laki sudah memiliki keinginan senakal ini. Dia rela memotong pohon milik orang hanya untuk membuatkan patung untuk seorang perempuan. Apalagi Ridho memang memiliki bakat unik sedari kecil. Mempunyai jiwa seni yang tinggi dalam hal membuat patung.
“Kamu kalau besar mau jadi apa?” Tanya Ranti kepada Ridho sewaktu kecil.
“Jadi arsitek. Ranti jadi apa?” Tanyanya balik.
“Aku jadi istri yang baik untuk seorang laki-laki yang baik. Kalau Mas Ridho kuliah nanti uang Ibu keluar banyak. Jadi aku di rumah saja. Menunggu orang yang aku nantikan sukses dulu.”
Rupanya Bu Marti masih teringat betul cerita sewaktu mudanya dulu merawat dua orang anak. Dan begitu marahnya dia mendengar anak perempuannya seolah bersikap pasrah jika ditanya soal cita-cita. Tapi cita-cita kecil mereka memang begitu terjadi. Ridho dan Ranti membuktikan apa yang mereka katakan dulu.
Perpisahan Ridho hendak pergi menuntut ilmu arsitektur membuat Ranti jadi sering sakit-sakitan. Bu Marti tak habis pikir bagaimana bisa seorang adik begitu rindunya ditinggal seorang kakak. Pikirnya mungkin karena terlalu lama mereka sering bersama. Ridho kebetulan jarang pulang ke rumah. Zaman dulu, orang merantau belum pulang kalau belum sukses. Ranti jadi lebih termenung dan menyendiri. Hingga sampai ketika mereka dibelikan telepon selular kala itu. Waktu itu alat komunikasi semacam itu masih terlalu unik dan sedikit orang yang memilikinya. Semangat Ranti sudah semakin membaik. Dia lebih sering bersembayang dan belajar memasak. Dia juga sering menata kamar Ridho dan juga berdandan.
Awalnya, kala itu Bu Marti sering menjodohkan Ranti dengan saudagar kaya. Tidak hanya satu atau dua, bahkan sudah puluhan kali. Tapi tak ada satu pun yang memikat hati Ranti. Hal ini yang membuat Bu Marti kuatir. Seperti ada yang aneh dengan Ranti. Takutnya kalau putrinya ini tidak suka dengan laki-laki.
“Buk, aku ingin menikahi Ranti.” Kata-kata yang begitu menyakitkan di telinga Ibu Marti. Ridho memang begitu nekat jika ingin menikahi adiknya. Mereka sudah sering bersama hingga mungkin membuat mereka ingin bersama selamanya. Ibu Marti sudah merasa gagal.
“Kamu ingat tidak Ranti itu adikmu?” Kamu kemasukan setan ya?” Marah Ibu Marti.
“Tidak Buk, saya sadar. Saya masih sering sholat dan sering sebut nama Ranti dalam doa saya. Izinkan saya menikahinya Bu.” Kembali pinta Ridho.
Tak habis akal Bu Marti memikirkan perkataan Ridho. Hal ini yang membuat Ridho diusir tanpa hormat dari rumah itu. Tiada yang tahu kemana kala itu Ridho pergi. Ranti semakin aneh. Dia jadi lebih sering termenung dan menyendiri. Hal ini yang sering membuat Bu Marti terkadang tidak tega. Perlahan dia mulai merestui hubungan mereka. Bagaimana pun mereka tidak diciptakan sebagai saudara kandung. Dan sudah sepantasnya jika rasa itu muncul karena sering bersama. Tak mungkin pula baginya memisahkan dua orang yang saling mengasihi. Mungkin akan dianggap aneh jika mereka harus menikah, tapi semua akan menjadi wajar jika Tuhan merestui.
Ucapan pertanda baik sudah dia berikan kepada anaknya kala itu. Ranti begitu sumringah mendengar apa yang dikatakan ibunya kala itu. Tapi tidak dengan Ridho yang tidak tahu dimana keberadannya. Entah di Sumatra, Kalimantan, Papua, atau bahkan di luar negeri. Tak ada satu jejak pun ia tinggalkan untuk megetahui keberadaannya. Handphone, sebagai alat tercanggih kala itu juga tidak dibawa. Hal ini yang membuat Bu Marti tidak tahu akan bagaimana memberitahu Ridho bahwa tanggal perkawinannya dengan Ranti sudah ditentukan secara pribadi. Tapi yang jelas masih ada setahun tenggang waktu yang diberikan Bu Marti untuk mereka menikah sejak Bu Marti merestui pernikahan Ridho dan Ranti.
“Bu, Ridho pulang Buk.” Teriak anak laki-laki dari arah halaman rumah.
“Ya Allah Ridho, kamu pulang?” Teriak ibunya lebih keras lagi.
“Iya Bu, selama ini aku tinggal di Jakarta. Di sana aku menjadi arsitek sukses. Aku punya rumah besar di sana. Lebih besar dari ini. Kita akan segera pindah ke sana. Bersama Ran....” Katanya tidak dilanjutkan. Bu Marti tersenyum.
“Kenapa tidak dilanjutkan Nak?” Tanya ibunya.
“Ranti, iya Ranti.”
“Berarti selama ini Kamu jadi orang sukses. Sudahlah Nak, kita tinggal di sini saja. Sejak dulu Ibu percaya Kamu bisa jadi orang sukses, bahkan lebih sukses dari ini.”
“Iya selama ini saya sudah pernah tidur di kolong jembatan sewaktu saya pertama kali tinggal di Jakarta. Sepeser uang pun saya tidak punya hingga membuat saya makan makanan di bak sampah. Untung ijazah ini Buk yang saya bawa. Jadi saya pakai saja untuk melamar pekerjaan. Awalnya bos saya tidak percaya karena sewaktu saya mendaftar pekerjaan saya hanya memakai kemeja lusuh dan sudah tidak saya cuci selama tiga hari. Makanya awalnya saya hanya menjadi kuli bangunan saja. Ranti mana Buk?” Tanyanya kembali.
“Kamu jadi orang sukses di luar sana tanpa pamit ibu hanya ingin membuat ibu kawatir? Tanpa memberi kabar. Ibu minta maaf telah mengusirmu tempo dulu. Bukannya ibu tidak sayang kepadamu. Ibu juga yakin, kamu mau lepas dari kehidupan ibu hanya karena ingin menjadi orang lain. Seolah bukan keluarga kami. Lalu berlagak melamar Ranti?”
“Iya Buk. Apa Ibu masih ingin menjadikan ku seorang anak sekaligus menjadi seorang menantu?”
Bu Marti masih tersenyum dengan mata berkaca-kaca. Dia begitu terharu melihat tekat besar anaknya dalam berucap. Bahkan ia masih ingin berjuang melampaui batas untuk menikahi adiknya sendiri.
“Iya Nak, Ibu merestui kalian semenjak setahun yang lalu. Bahkan hari ini seharusnya kalian menikah.”
“Iya Buk, tidak apa-apa Buk. Saya tidak lelah dan saya masih sanggup untuk menikahi Ranti sekarang juga.”
“Ibu tidak merugi. Ibu memang tidak merugi.”
“Iya Buk, Ibu memang benar tidak merugi karena memiliki menantu seperti aku.”
“Bukan, Nak.”
“Lalu apa Buk? Ibu tidak merugi karena Ibu punya anak seperti aku?”
“Iya Nak. Ibu tidak merugi punya anak seperti Kamu. Kamu memiliki tekad besar. Dan Sekaligus Ibu juga tidak merugi kehilangan anak seperti Ranti.”
“Maksud Ibu?” Tanya Ridho penasaran.
Bu Marti menangis begitu derasnya. “Sebenarnya Ibu tidak ingin mengungkit itu. Karena Ibu sudah melupakannya.”
Suasana kala itu menjadi dramatis. Ridho tak percaya mendengar perkataan ibunya. Dia terlambat menjemput calon istrinya. Coba kalau kala itu dia datang lebih awal. Iya, tepatnya enam bulan lebih cepat dari ini. Mungkin dia bisa mencegah Ranti.
“Lalu jasadnya dimana Bu?” Tanya Ridho tidak percaya.
“Jasadnya Ibu tidak tahu. Ibu tidak percaya kalau dia sudah meninggal. Ibu tidak percaya.”
Kala itu jantung Ridho seperti hendak copot dari tubuhnya. Hatinya hancur berkeping-keping. Air matanya tidak terbendung lagi dari kelopak matanya. Jika bisa menangis darah mungkin dia akan menangis darah. Wanita yang begitu ia cintai pergi begitu saja. Apalagi jasadnya tidak ditemukan. Itu yang membuat Ridho semakin terpukul. Enam bulan lalu, setelah enam bulan Ridho dan Ranti direstui, Ranti menjadi gadis bersemangat lagi. Dia sengaja pamit pergi ke pasar untuk membuat masakan yang resepnya baru ia rancang. Dan semenjak itu sampai sekarang Ranti tidak pernah kembali. Pernah sesekali, dua kali ibunya mencoba tanya ke orang pintar untuk mencari tahu keberadaanya Ranti. Masih sama jawabannya, bahwa Ranti sudah di alam yang berbeda. Ibunya curiga, Ranti menjadi salah satu korban kecelakaan bus mengingat pada saat Ranti pergi ada bus yang kecelakaan dan terbakar. Tapi meskipun itu tidak mungkin karena bus yang ia tumpangi berbeda jurusan dengan bus yang kecelakaan.
Penantian demi penantian terus ia lalui. Ada harapan besar dalam benak Ridho karena bagaimana pun jasad Ranti belum diketemukan juga. Ridho lebih sering menyendiri dan memahat patung-patung kuda. Sungguh tragis memang jika orang yang seharusnya menjadi pengantin baru batal nikah gara-gara pengantin wanitanya sudah meninggal dan jasadnya belum diketemukan. Ridho seakan lalai terhadap masa depannya. Penampilannya kusam tidak terawat karena begitu tulus berpikir tentang Ranti. Pekerjaan arsiteknya juga dia tinggalkan. Dia jadi sering duduk di halte depan rumah menantikan Ranti turun dari bus yang baru datang, meskipun itu kecil kemungkinan. Hingga ketika nasib malangnya datang. Ketiga bus melaju kencang dan membentur ke kepalanya. Isi kepalanya telah hilang dan membuat dia lupa identitasnya. Begitu juga dengan ilmu-ilmu arsiteknya yang selama ini ia miliki. Semenjak itu pula, Pak Ridho lebih sering jalan mondar-mandir ke pasar. Mungkin angannya masih ada Ranti di sana yang tengah belanja resep makanan barunya.
Aku mencium tangan Bu Marti kala itu. Bu Marti yang kala itu memakai mukenah ibuku aku ajak bersama sholat goib mendoakan Ranti. Sudah lima belas tahun Ranti tidak ada. Dan hanya tinggal Ridho dengan keterbatasannya yang tinggal di pelukan Bu Marti. Selama ini rumah dan tanah Bu Marti dijual untuk makan keseharian mereka. Untung orang yang membeli rumah Bu Marti berbuat baik kepada Bu Marti dan Ridho untuk mempersilakannya mereka tinggal di rumah itu. Mungkin karena letaknya di desa jadi membuat mereka enggan menempatinya.
“Hallo Indah! Jadi bimbingan tidak?” Suara dari telepon itu menunjukkan rasa murkanya.
“Iya Prof. Saya belum ke Jogja sepertinya besok saja ya Prof.”
“Haduh gimana sih Kamu?” Marah dosen pembimbingku.
Aku masih tidak pikir kenapa ada orang dengan nasib semalang ini. Sepertinya arah penelitianku akan aku putar seperti rencana semula. Ceritanya akan aku kemas menjadi menarik sehingga profesor-profesor di tempatku mau membantu mengembalikan Pak Ridho seperti semula. Malangnya Ridho dan Ranti. Jika waktu bisa diputar, seharusnya tidak terjadi seperti ini. Ridho tidak menjadi dirinya sendiri dan masih menyimpan harapan akan kedatangan Ranti. Begitu juga dengan Ranti yang tidak diketahui dimana keberadaannya, mungkin masih menantikan Ridho datang menjemputnya. Akal waras Ridho yang hilang entah kemana, juga jasad Ranti yang tak tahu ada dimana membuat semakin malangnya nasib Bu Marti. Bu Marti begitu ikhlas menjalani semua ini. Kasihan Bu Marti. Tapi bagaimana pun Tuhan masih sayang kepada umatnya dan tahu yang terbaik untuk umatnya. Cepat atau lambat Tuhan akan menunjukkan kekuasaan-Nya. Menemukan lagi akal sehat Ridho juga segera tunjukan jasad Ranti berada.

TAMAT


#CerpenCinta #CerpenMenyedihkan #CerpenKasihSayang #CerpenKetulusan

Tidak ada komentar: