Rabu, 16 Maret 2016

Cerpen Cinta Menyedihkan : Tujukan Jasadnya Part 1


Tunjukan Jasadnya Part 1
Aku masih bingung kenapa orang ini selalu lalu-lalang di depan rumahku. Orang ini seperti kurang kerjaan. Di tangannya terdapat sebuah patung kuda yang dipegang erat. Dan nampaknya usianya tidak begitu tua dan mungkin hampir sama dengan pamanku. Jika dia waras aku yakin dia seharusnya tidak melakukan hal seperti ini. Bertindak mondar-mandir tidak jelas. Dia bisa mencari uang, entah itu menjadi tukang kayu, kuli, atau mencari sampah. Pekerjaan semacam ini mungkin akan lebih baik daripada melakukan pekerjaan yang tidak jelas seperti ini. Sesekali dia menatapku dan tersenyum sempit kepadaku. Meskipun aku tahu ini bukan ulahnya melainkan ini ulah setan, tapi aku balas saja senyumannya.

Orang ini begitu membuatku penasaran. Apa yang membuatnya menjadi hilang akal sehat seperti ini? Terkadang dia bicara sendiri, tertawa sendiri, bahkan terkadang menangis sendiri. Apakah beban hidup yang terlalu berat telah membuatnya gila seperti ini. Atau mungkin keturunan juga bisa menjadi faktor lain. Pernah kucoba selidiki mengapa sedari kecil aku pindah dari Surabaya sampai aku sedewasa ini masih saja orang ini tak lelah lalu-lalang dengan pakaian kumuhnya. Aku mencoba bertanya dengan ibuku. Dia pasti lebih tahu penyebab penyakit jiwa laki-laki paruh baya ini.
“Ibu kenapa paman itu selalu lewat di depan rumah kita?”
“Ibu juga tidak tahu. Mungkin dia sedang olah raga.”
“Ah yang benar Bu?”
“Ibu juga tidak tahu.”
“Lalu kenapa ada sebuah patung kuda di tangannya?”
Ibuku diam saja. Dia tidak mau melanjutkan percakapan kami. Mungkin ibu masih bingung akan menjelaskan apa kepadaku. Dia takut salah, nanti malah jadi fitnah yang tak baik. Tak mungkin buatku mencari sendiri berita tentang orang yang lalu-lalang tak jelas ini. Bahkan ini juga bukan kewajibanku mencari tahu penyebab orang ini sakit jiwa. Masih banyak orang gila lain, kenapa harus dia? Aku tahu bahwa orang ini memang ada gangguan di kepalanya. Tetangga di sekitar rumahku juga bilang bahwa orang ini sudah lama sakit jiwa. Ada yang bilang korban pesugihan orang tuanya, ada yang bilang karena putus cinta, lalu ada pula yang bilang masuk aliran sesat, korban tabrak lari, bahkan ada yang bilang kalau dia saking pintarnya menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Tapi yang aku tahu orang ini tinggal di desa tetangga sana.
Saat ini aku sudah dewasa. Kalau pun cerita tentang penyebab sakit jiwa orang ini merupakan cerita dewasa mungkin bagiku tak masalah karena aku juga sudah besar. Apalagi aku saat ini sedang mengambil konsentrasi ilmu psikologi. Sebenarnya aku sangat tertarik mengambil tema skripsiku tentang penyebab sakit jiwa orang ini. Tapi menurutku itu sangat sulit karena orang-orang di tetanggaku begitu tertutup bercerita tentang penyebab penyakit jiwa orang ini.
Akhirnya kuniatkan keinginanku untuk selidiki penyebab penyakit jiwa orang ini. Aku tidak tahu apa yang membuatku memilih orang ini sedangkan masih banyak orang gila-orang gila yang lain. Apalagi judul skripsiku sudah di-ACC oleh dosen pembimbingku. Keinginanku begitu yakin kalau tema skripsiku pasti akan menarik. Dan apa pun akan aku lakukan demi mengetahui penyebab penyakit jiwa orang ini. Apalagi kalau aku dapat membantunya pasti ini akan menjadi suatu hal yang besar dalam hidupku.
Aku menanti peristiwa yang tepat untuk selidiki orang ini. Meskipun ibu tidak mau diajak kompromi juga berita tetangga yang simpang-siur dan diragukan kebenarannya, aku masih bisa mencari tahu sendiri teka-teki ini. Tiba waktu yang tepat. Kuikuti langkah pulang orang gila ini. Dengan berjalan lumayan jauh di belakangnya, aku yakin ini tidak akan ketahuan olehnya mengingat penyakitnya jiwanya yang kronis dan berlangsung sudah lama. Lagipula dia juga sedang sibuk bicara dan bercanda dengan angin.
Rumahnya begitu besar dan megah. Pantas jika dia tidak bekerja kalau rumahnya sudah sebesar ini. Ingin kulangkahkan kakiku mendekat ke rumah ini. Sedikit ragu karena takutku hanya dia penghuni setia rumah ini. Nanti kalau ada apa-apa aku takut keselamatanku terancam. Tak lama berselang waktu, wanita tua keluar dari bilik pintu rumah besar itu. Orang tua itu mengeluskan tangannya ke pundah anaknya yang sedikit kena gangguan mental ini. Terlihat begitu sayang orang tua ini kepada anaknya dan tidak memandang bagaimana kondisi anaknya saat itu. Mereka segera bergegas menuju rumah dan menutup pintu dengan rapat.
Aku pun mencoba ketukkan jariku ke pintu rumah ini seraya membaca basmallah. Pintu terbuka oleh wanita tua itu dan mempersilakan aku masuk seperti tamu spesialnya. Ibu tua ini begitu ramahnya denganku. Dia sedikit bingung dengan kedatanganku dan mungkin aku memang sedikit asing baginnya. Tapi tanpa canggung dia tidak menampakan perasaan was-was terhadap tamu asing. Bahkan menyuguhkan aku segelas teh dan menawari aku makanan.
“Maaf Buk. Saya Indah.”
“Oh Nak Indah. Kamu dari mana?”
“Saya dari desa sebelah. Begini Buk. Kedatangan saya di sini bermaksud untuk....” Belum aku selesai bicara, ibu tua itu pergi ke dapur. Aku pun terpaksa menghentikan bicaraku.
“Ini ya Nak. Maaf seadanya. Ibu hanya punya kue ini. Ayo cicipi.”
“Emm. Iya makasih Buk. Begini Buk, maksud kedatangan saya di sini adalah untuk....”
“Sudah dulu ngobrolnya. Yang penting De Indah cicipi dulu makanan saya. Nanti begitu Adek cicipi baru kita lanjut ngobrol lagi.”
Sungguh luar biasa wanita tua ini hingga bersemangat sekali memberikan aku makanan. Bahkan dia baru mengenalku dan tidak tahu maksud kedatangan aku di sini sudah saja dia memberikan makanannya kepadaku. Aku begitu tidak enak hingga membuatku batal untuk mengatakan maksud kedatanganku saat ini. Aku pulang dengan tangan kosong tanpa informasi. Hanya perutku saja yang kenyang. Ada sedikit was-was sebenarnya. Aku teringat ucapan tetanggaku akan gosip bahwa keluarga ini punya pesugihan. Bisa saja tadi aku diberi makanan sebanyak itu karena wanita tua itu punya maksud lain. Tapi menurutku tidak mungkin dia berbuat sejahat itu. Seseorang berbuat baik kepadaku, tapi aku justru membuat fitnah kepadanya.
Dua hari telah berlalu. Aku telah menyiapkan beberapa perkataan wawancaraku agar tidak membuat wanita tua baik itu sakit hati karena pertanyaanku. Akhirnya kukunjungi untuk kedua kalinya rumah besar di desa sebelah itu.
“Senang sekali Nak Indah datang ke sini lagi. Sebentar ya Nak.” Kata wanita tua itu sembari bergegas hendak meninggalkanku yang tengah duduk terdiam.
“Emm nggak usah repot-repot Buk. Saya sudah bawa makanan dan minuman.”
“Lho kok? Yang mertamu siapa, yang ngasih makanan dan minuman siapa.”
“Iya Buk saya sengaja. Nanti merepotkan. Lagi pula saya yang sengaja datang ke sini. Dan saya kemaren sudah belajar membuat kue seperti yang dikasihkan Ibu.”
“Oh jadi ini bikin sendiri. Wah patut dicoba ini. Kamu masih muda tapi pintar membuat kue.”
“Emm iya Buk, alhamdulillah. Begini Buk maksud kedatangan saya ke sini adalah untuk menyelesaikan skripsi saya.”
“Hemm, saya tahu apa itu skripsi. Sepertinya Ridho dulu pernah bilang skripsi.”
“Ridho siapa Buk?”
“Emm nggak apa-apa. Terus saya harus berbuat apa Nak?”
“Ibu di sini tinggal dengan siapa?”
“Dengan anak saya.”
“Lalu Ridho siapa Buk?”
“Ayo tadi jelaskan saja. Malah tanya ke saya hal yang lain.”
“Oh iya Buk. Maksud saya datang kemari adalah untuk meminta bantuan Ibu menceritakan kepada saya tentang penyebab anak ibu itu sakit. Boleh Ibu bercerita! Jadi begini Buk saya bisa datang ke sini karena saya mengikuti anak Ibu. Selama ini saya mengikuti beliau hingga sampai ke rumah ini. Kebetulan saya mengambil jurusan psikologi dan saya ingin membuat penelitian berkenaan anak Ibuk. Nanti kalau saya berhasil saya berjanji akan menyembuhkan anak Ibuk.”
“Anak Ibuk siapa? Saya nggak punya anak. Itu bukan anak saya.”
“Lalu laki-laki yang biasa pulang ke rumah ini itu siapa?
“Begini saja. Saya sebenarnya tidak ingin membahas penyebab orang yang sudah saya anggap anak itu sakit. Saya ingin menyimpan lama memori pahit itu. Tapi Adek ini malah menyuruh saya membahasnya lagi. Maaf Dek saya tidak bisa membantu. Begini saja saya doakan skripi kamu cepat selesai, begitu saja.
Perasaan sedikit kecewa membuatku sedikit terpuruk. Menyerah bukan pilihan. Setidaknya ada pilihan lain, selagi aku masih punya Allah tidak mungkin aku menyerah begitu saja. Masih ada narasumber lain yang jauh bisa dipercaya. Laki-laki sedikit gangguan jiwa itu mungkin bisa aku tanya tentang penyebab dia sakit jiwa. Sementara aku memanggilnya Ridho meskipun itu belum tentu benar karena tidak ada yang tahu nama sesungguhnya.
“Pak Ridho! Pak Ridho!” Esok hari aku mengejar laki-laki sakit jiwa ini. Namun terus saja dia mengacuhkan panggilanku. Mungkin benar bukan dia yang bernama Ridho. Mungkin ada sosok lain yang bernama Ridho. Akhirnya kutarik tangannya agar dia mau berhenti.
“Mana Rantiku? Mana Rantiku?” Teriakannya dengan mata berkaca-kaca.
“Apakah benar Bapak yang bernama Ridho?” Aku bertanya dengannya meskipun hanya anggukan kepala yang ia berikan. Sulit aku percaya bahwa namanya Ridho karena dia tidak tahu akalnya sendiri.
“Maaf Pak. Siapa itu Ranti? Apakah Bapak bisa menjelaskan kepada saya?”
“Tidak tahu.” Balasannya sembari pergi.
“Siapa itu Ranti Pak?” Kembali pertanyaanku sembari mengejar.
“Percuma! Tidak tahu! Percuma! Tidak tahu.” Begitu ucapannya berulang-ulang. Memang percuma aku bertanya dengannya. Bagaimana bisa orang gila aku jadikan narasumber untuk skripsiku. Bagaimana pun aku masih waras. Menurutku ada ide lain yang sebenarnya bisa aku jadikan untuk tema skripsiku.
Tujuh hari telah berjalan. Masih sama, rutin coba kutegur orang yang mondar-mandir ini untuk bertanya siapa itu Ranti. Sengaja aku bertanya setiap pagi saja meskipun dia lewat di depan rumahku dua kali dalam sehari. Tapi jika kutanya sehari dua kali aku takut itu membuatnya trauma. Mungkin jika aku hanya bertanya setiap pagi saja, keesokannya dia akan lupa terhadap pertanyaanku yang memaksa. Ternyata percuma usahaku selama tujuh hari. Jawabannya masih sama. “Percuma! Tidak tahu! Percuma! Tidak tahu.”
Aku semakin terpuruk. Masa penelitianku sudah akan habis. Satu data pun belum aku temui. Pernah kumencoba bercerita kepada ibuku. Aku juga mencoba merayu ibuku agar sedikit dia mau membuka mulut tentang laki-laki gila itu. Meskipun sebenarnya itu bukan responden yang tepat. Ibuku hanya tetangga jauh, bahkan ibuku tahu namanya saja tidak tahu.
“Sudah Nak, ganti tema saja. Ibu takut Kamu lulusnya molor.” Nasihat ibuku.
Sedikit aku mulai mencerna apa perkataan ibuku. Aku ingin sekali sebenarnya meniliti tentang orang gila itu. Tapi menurutku itu sangat sulit dan aku takut imbasnya malah mengena terhadap tugas skripsiku dan alhasil periode kelulusanku ditunda. Aku mencoba kembali berpikir. Kali ini aku sudah menghentikan penelitianku terhadap orang gila itu. Aku tidak lagi bertanya dengannya. Iya, selama tiga hari ini aku mencoba mencari tema skripsi yang lain. Hasilnya sudah ada tapi menurutku tema yang baru kali ini tidak sesuai dengan kata hatiku. Tapi tidak apalah mengingat ibuku sudah tua. Skirpsiku tak bagus tidak apa, yang penting cepat selesai.
“Iya Prof, nanti saya akan ke Jogja. Segera, proposal yang baru akan saya selesaikan!” Suara teleponku terhadap dosen pembimbingku. Hari ini proposal baruku sudah akan selesai. Mungkin siang hari aku akan segera pergi ke kampusku di Jogja. Untuk hari ini aku harus kerja keras selesaikan proposalku. Secangkir kopi hitam berteman toples-toples kue ringan menghiasi meja belajarku. Kertas berserakan di mana-mana. Bola mataku akan segera lepas dari piringannya yang berwarna hitam. Mungkin gara-gara tiga hari ini aku hanya tidur tiga jam.  Dan Si Lupus, panggilan akrabku untuk komputerku sudah bekerja lelah selama tiga hari ini. Satu yang membuatku bahagia untung buku-bukuku sudah sedia di rumah. Tiga hari ini semua nomor handphone di kontakku sudah aku blacklist dari panggilan telepon, kecuali dosen pembimbingku.
Semoga perjuanganku tidak sia-sia. Skripsiku bisa berakhir happy ending. Orang yang namanya mungkin Pak Ridho telah berlalu dan kini waktunya membuka lembaran baru. Aku percaya tidak ada perbuatan baik yang berkahir percuma. Meskipun menurut kita Tuhan terkadang membalasnya  sedikit terlambat. Tapi aku yakin, Tuhan akan membalasnya, cepat atau lambat. Biarkan Pak Ridho itu tetap bertahan kepada kebingungannya. Juga Ibu tua itu, biarkan dia pada pendiriannya yang sedikit tertutup. Juga ibu dan tetanggaku yang sangat tidak peduli untuk sedikit membantuku selesaikan tugas akhirku. Aku harus cepat, profesorku sudah menunggu.


#CerpenCinta #CerpenMenyedihkan #CerpenKasihSayang #CerpenKetulusan

Tidak ada komentar: