Rabu, 09 Maret 2016

Cerpen Keluarga dan Kasih sayang: Hilang Ingatan


Tempat tinggalku memang jauh dari perkotaan dan suasana pedesaan pun masih begitu kental. Saling membantu sesama tetangga masih begitu terjalin di tempat ini. Tak jarang dari mereka yang akan menikahkan anaknya, masih bersifat gotong royong dan tidak ada itu wedding organizer. Masih ada persawahan yang luas, kebun yang besar, dan jarak antarrumah yang begitu jauh. Begitu sulit kulupakan kampung halamanku. Meskipun sudah lama ingin kutinggalkan tempat ini untuk sekadar mencari kerja di luar daerah yang suasanya lebih perkotaan.

Cari kerja di tempat ini memang susah. Kalau pun ada harus rela menjadi tani sawah atau pun tani kebun. Namun aku tak mau, mengingat selama ini hanya aku anak di desa ini yang memiliki orang tua menginginkan anaknya lulus hingga S1.
Tak lama dari aku mendapatkan gelar sarjanaku, pekerjaan telah menghampiriku dan harus kutinggalkan desa ini. Dua bulan lalu aku diterima kerja di luar kota, di Jogja tepatnya. Mengingat jarak desaku dan pusat Kota Jogja begitu jauh, akhirnya kumenetap di Jogja dan kusediakan waktu sebulan sekali untuk menengok bapak-ibuku di rumah.
Hari ini adalah hari Minggu dan kusediakan waktu untuk pulang ke rumah. Sekedar melepas rasa rinduku dengan kedua orang tuaku dan saudara kembarku. Suasana masih seperti biasa. Mereka para masyarakat desa masih segan menyapaku dan mengingatku meskipun penampilanku sudah mulai berbeda.
Masih kupandangi orang tua ini dan ada yang aneh dengannya. Rumahnya tepat di depan rumahku meskipun berjarak agak jauh. Keluarga kita sering bertukar makanan karena sudah bertetangga begitu lama. Dia begitu curiga menatapku seakan baru mengenalku.
"Kamu siapa Nak?"
"Saya Anggun Nek. Anak Pak Yadi, yang kembar itu."
"Oh iya. Sudah besar ya sekarang. Mau kemana?"
"Mau pulang Nek."
"Pulang kemana?"
"Pulang ke rumahnya Pak Yadi."
"Dari mana memangnya?"
"Dari Jogja Nek. Saya bekerja di sana jadi karyawan Bank."
"Oh Nak Anggun selamat ya. Kalau udah kerja jangan lupa sama orang tua ya."
"Iya Nek. Permisi."
Aku pun melanjutkan langkahku untuk pulang. Untuk pulang aku biasanya naik kereta dan sesudah itu aku jalan kaki dari stasiun menuju rumah. Maka tak sengaja aku bertemu dengan nenek ini mengingat rumah kami yang berhadapan.
Aku merasa risih ditanya demikian. Dalam Bahasa Jawa ada dua pemakaian bahasa. Bahasa keseharian atau ngoko dan bahasa untuk orang yang dihormati, orang baru bertemu, dan orang yang dianggap lebih tua atau bahasa sopan yaitu bahasa kromo. Biasanya nenek ini berucap dengan bahasa ngoko ketika berbicara denganku dan aku pun menjawab dengan bahasa campuran ngoko dan krama mengingat hubungan kami yang sudah lama namun aku tetap menganggapnya orang yang lebih tua. Tapi ada yang aneh dengan percakapannya kali ini. Dia berbicara denganku seperti baru mengenal bahkan menggunakan bahasa krama. Bahkan bertanya siapa diriku. Tapi aku tak menghiraukan mengingat penampilanku yang berbeda ditambah mata tuanya yang mungkin sedikit terganggu. Tapi yang jauh lebih aneh mengapa dia lupa bahwa aku pulang dari Jogja bukankah aku sudah bercerita sebulan yang lalu. Bahkan kata ibuku, sudah sering ibuku bilang ke wanita ini bahwa aku menjadi karyawan Bank di Jogja.
Pagi itu aku masih dengan santai merasakan sejuknya udara pagi di desa ini. Burung yang berkicau riang semakin meramaikan suasana. Jalan yang sepi meskipun ada beberapa petani yang lalu lalang berjalan di depan rumah dan menganggukan kepalanya sekadar menyapaku. Sapi, kerbau, dan kambing juga berlalu lalang digiring oleh para penduduk.
Namun pandanganku dikejutkan dengan sesuatu yang tak seharusnya dipandang. Dari arah jauh, ada seorang wanita tua hanya bertutupan selembar kain yang ia kenakan serta sebuah benda yang ia gunakan untuk menutup kepalanya seperti topi. Lalu kuamati dia dengan seksama. Kain yang ia gunakan adalah selembar korden jendela sedangkan topi yang ia gunakan adalah sebuah wajan untuk memasak.
Jalannya begitu cepat menuju ke arahku membuatku lari terbirit-birit masuk ke dalam rumah. Aku berteriak mencari ibu dan nenekku. Aku begitu kaget tak menyangka. Di desa yang belum lama kutinggalkan ini telah muncul sesuatu yang begitu berbeda. Terdapat seorang dengan penyakit jiwa berkeliaran dan menakutkan jika ada kalanya dia marah lalu merusak apa-apa yang di sekitarnya. Menurutku ini begitu mengganggu ketentraman warga di desa ini.
"Tok... Tok.... Tok...!" Terdengar suara ketuk pintu.
Ada yang mengejutkan di balik suara pintu itu. Orang yang mengetok pintu itu adalah wanita dengaan penyakit jiwa itu. Sepiring kue brownies di tangannya. Ketika kubuka pintu itu, dia penuh girang. Dia anggukan saja kepalanya seraya menyodorkan sepiring kue itu. Lalu kubiarkan saja dan aku justru kembali ke dapur memanggil nenek dan ibuku.
"Parti, ngapain kamu pakai baju seperti itu?" Nenekku bertanya dengan sedikit marah.
"Ini mau ngantar kue? Tadi bikin sendiri. Cicipi Dek Anggun." Wanita ini menawariku makanan yang dibawanya.
Pikirku nenek yang tinggal di depan rumahku memang sudah gila. Kue brwonies itu baru kemaren sore aku antar ke rumahnya. Bahkan bentuknya masih sama dan piring yang dipakai pun sama. Lalu kupandangi kedua bola matanya yang begitu lugu dan kosong. Benar-benar sudah gila orang ini. Entah karena masalah ekonomi atau haus kasih sayang menurutku menjadi penyebabnya.
"Dari mana kamu? Korden buat baju. Ini wajan siapa?" Nenekku kembali bertanya dengan nada keras.
"Oh aku habis mandi." Jawabnya.
"Kenapa tadi dari sana?" Dari sungai?" Kembali nenekku bertanya.
"Tidak saya dari rumah. Baru mandi. Lupa belum pakai baju."
"Pulang sana! Ini browniesnya buat kamu. Kita udah punya."
Nenekku memang sedikit sengol dengannya. Penyakit pikunnya begitu parah hingga terkadang membuatnya tak jauh beda dengan orang sakit jiwa. Pernah juga dia memakai rok lusuhnya untuk atasan. Sering dia keliling desa malam hari dengan mukena putih yang membuat heboh seluruh desa. Dia juga sering tak mengenakkan hati keluargaku yang rutin memberinya makanan untuk sarapan. Bagaimana tidak? Makanan yang kami beri justru ia beri untuk kucing peliharaannya sedangkan makanan untuk dirinya justru makanan sisa hari kemaren.
Tiga rumah yang didekat rumahnya memang rutin memberinya makanan untuk dirinya, termasuk keluargaku. Kebetulan keluargaku mendapat jadwal memberinya makanan pagi hari. Ada perilakunya yang terkadang membuat warga di desaku marah karena ulahnya. Sering ia mendatangi rumah warga untuk sekedar mencari barangnya yang katanya hilang. Dengan kejam dia menuduh saja tetangga di sekelilingnya sebagai maling. Terkadang dia bertindak seolah depkolektor. Menagih hutang kepada mereka yang tak berhutang sering ia lakukan. Tapi apa pun hal gila yang ia lakukan selalu kami anggap maklum karena perbuatannya memang di luar kesadarannya.
Alzeimer telah merengguh ingatannya bahkan jati dirinya sudah ia lupakan. Ingatannya tak bertahan lama. Bahkan tak jarang aku harus berkenalan setiap bertemu dengannya.
"Tolong!" Suara tanpa arah tepat pukul 00:00.
Keluargaku merasa aneh dan sedikit ketakutan dan mungkin sama dirasakan oleh keluarga lain di rumah sekeliling kami. Teriakan minta tolong terus terdengar dan suara itu menakutkan keluarga kami. Kami justru bingung dan enggan keluar karena teringat peristiwa yang pernah terjadi beberapa tahun yang lalu. Desa kami memang masih begitu sepi dari hiruk-pikuk lampau kota. Suasana mistis masih begitu terjalin di kampung ini. Pernah terjadi suara minta tolong terdengar dari arah hutan dan tepat pukul 00:00. Peristiwa ini terjadi setahun yang lalu. Warga berbondong menuju arah hutan dan sumber suara tak terdengar tapi malah salah satu warga kerasukan hingga membuat suasana tegang.
Peristiwa mistis itu membuat keluarga kami trauma dan bingung akan keluar untuk menolong atau tidak. Kami pun menunggu hingga suara itu reda. Suara itu memang terdengar lebih keras daripada suara mistis satu tahun yang lalu. Suaranya juga tidak kunjung diam justrus merongrong semakin keras. Lalu kami memberanikan diri untuk keluar rumah. Terlihat ramai kerumunan orang di rumah Mbah Parti. Kami sekeluarga bergegas menuju sana untuk sekedar ikut membantu.
"Ada apa Par? Kenapa?" Nenekku bertanya.
"Saya juga bingung kenapa banyak orang di rumah ini. Saya nggak manggil mereka. Saya hanya memanggil kamu Mah."
"Lho kok saya?" Tanya nenekku heran.
“Iya. Kamu nggak mau tidur denganku. Aku takut tidur di rumahku sendirian. Di sini nggak punya teman."
"Jadi kamu minta tolong agar saya menemani kamu tidur."
"Tidak."
"Lha tadi kamu?"
"Saya tadi panggil namamu."
Satu persatu warga mulai meninggalkan rumah itu. Ternyata ini hanya alasan nenek pikun yang minta ditemani tidur. Nenekku enggan menemaninya tidur di rumahnya meskipun sudah sering ia datang ke rumah untuk meminta nenenkku menghampiri rumahnya. Wataknya yang begitu seperti anak kecil sudah begitu tak pantas ia sanding. Nenekku memang tak mau menemaninya tidur karena takut kejadian waktu lalu terulang. Ingatannya sudah hilang dan seminggu kemaren Ibu Ratih, tetanggaku yang mendapat jatah mengantar makanan di sore hari di pukul sapu di kepalanya hingga pingsan. Ia mengira Ibu Ratih sebagai perampok meskipun rutinitas ini sudah sering ia lakukan.
Ia hanya tinggal sendiri. Setiap malam ia ketakutan. Anaknya yang di Jakarta sudah kualahan merawatnya atau bahkan lupa. Tak pernah sekali pun mereka menengok ibunya yang malang kecuali hari raya. Pernah kami dan para tetangga saling iuran untuk mengantarkan nenek pelupa itu ke rumah anaknya yang di Jakarta. Hanya bertahan tiga hari, terdengar telepon di handphone ayahku untuk segera menjemputnya di Jakarta. Kami dan para tetangga pun menjemputnya.
Entah, Ibu atau anak yang lupa. Ibunya memang maklum karena sakit alzeimer sehingga ingatannya telah hilang.  Jika anaknya, ia telah lupa akan nilai kehidupan. Betapa besar perjuangan ibunya ketika masih sehat merawatnya hingga memiliki keluarga seperti saat ini. Apalagi ibunya tidak bersuami sedari dirinya kecil. Hingga menyuruh ibunya bekerja di pabrik kopi. Apalagi putri sematawayangnya ini dikenal begitu manja ketika masa gadis.
Ibu tak bersalah ini rela bekerja keras, menjadi buruh dunia untuk mencari kehidupan dan memberikan pendidikan bagi anaknya. Menjadi janda beranak satu tak mudah baginya. Mengingat lingkungan pedesaan di sini sering menjadikan peristiwa yang aneh menjadi buah bibir. Statusnya yang sudah menjadi takdir sering menjadi buah bibir ibu-ibu dulu. Namun kini telah berlalu dan sudah seharusnya anaknya membalas perjuangan ibunya.
Tapi rupanya anaknya lebih lupa daripada ibunya. Anaknya tidak ingat betapa besar perjuangan ibunya ketika itu. Sehingga membiarkan ibunya dengan ketidaktahuan identitasnya tinggal sendiri di rumah reoknya yang dindingnya terbuat dari bambu. Sejak dua bulan punya penyakit itu, anaknya pun tidak mau pulang untuk sekadar menengok ibu kandungnya. Bahkan menelepon pun hanya sekali ketika meminta ayahku untuk kembali menjemput ibunya dari Jakarta.
"Halo Mas, Ini Indah." Sapa anaknya.
"Oh Indah. Gimana keadaan ibumu di sana?" Tanya ayahku.
"Baik. Gimana kabarnya Mas?"
"Alhamdulillah sehat. Lha Kamu?"
"Sehat Mas. Gini Mas, Ibu dibawa pulang saja Mas. Di sini nggak ada pembantu. Saya dan suami juga sibuk."
Begitu kaget ayahku mendengar seorang gadis yang telah menjadi istri orang mengungkapkan ketidakinginannya merawat ibunya yang telah tua dan sakit. Sangat membahayakan bagi ibunya yang tak berdaya dan sakit harus tinggal sendiri di rumah. Jika pun memang tak ada yang merawat, mengapa mereka tak membayar pembantu. Sejak kejadian itu, tak sekali pun mereka menelepon untuk bertanya keadaan ibunya, apalagi mengirim uang.
Aku merinding mendengar cerita dari ayahku. Yang aku dengar suami anaknya bekerja di percetakan sedangkan dirinya bekerja di rumah menjual baju online. Pekerjaannya istrinya sebenarnya tidak menyulitkan untuknya rangkap jabatan menjaga ibunya. Sudah berulang kali ayahku menelepon anaknya dan suaminya. Tak sekali pun mereka angkat. Mereka seakan ingin lari dari keharusan dan pura-pura lupa terhadap keharusan. Memang kejam, tapi ini adalah keharusan yang harus dihadapi Nek Idah. Meskipun dia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Anaknya tidak mau direpotkan ibunya yang lagi sakit. Apalagi sakitnya masalah ingatan yang terkadang kambuhnya tidak bisa ditebak. Tapi ternyata anaknya justru lebih lupa. Dia tidak ingat tentang perjuangan ibunya sewaktu sehat dan menggadaikan kesehatannya untuk berjuang mengasih dia makan dan mengenalkannya pada pendidikan.
Usainya memang belum terlalu tua jika dibandingkan nenekku. Pernah sekali kami berniat, menitipkannya di panti jompo. Tapi kami takut, anaknya akan marah karena merasa tidak dihargai jika tidak memberitahunya terlebih dahulu. Tapi bagaimana kami mau memberitahu, dihubungi lewat telepon saja susah. Mereka juga tidak sekali pun berusaha menghubungi kami. Entah mereka terlalu sibuk atau karena apa. Tapi jika iya, bukankan kesibukan mencari harta tidak lebih penting dari mengasihi orang tua. Mungkin ini yang membuat usaha mereka tidak terlalu berkembang sehingga justru menyibukkan mereka sendiri. Ini karena perlakukan salah mereka terhadap ibu kandung dan mertuanya. Mereka sendiri yang sebenarnya terlalu pelupa atau berusaha melupakan orang tua agar tidak terlalu direpotkan sehingga menyusahkan bisnis mereka.
Tapi apa pun itu semoga mereka cepat ingat. Ingat tentang besar jerih payah ibunya. Juga Nek Idah agar segera cepat sehat dan memiliki ingatan yang normal.
TAMAT

Tag = #CerpenKasihSayang #CintaRemaja #CerpenSedih #CerpenKeluarga #CerpenNasihat #CerpenKesetiaan #CerpenBahasaIndonesia

Tidak ada komentar: