Senin, 05 Oktober 2015

Cerpen tentang Lingkungan : Logam dan Kertas yang Merusak Alam


          Tak jenuh-jenuh kupandangi indahnya alam yang menyapa. Mengajarkanku bagaimana aku harus bersyukur dan mengakui kekuatan-Nya. Tak ingin aku segera beranjak dari  tempat ini dan menyiakan moment emas ini begitu saja. Burung-burung kenari berterbangan bermain seperti bocah desa yang masih polos. Dengan gembiranya mereka bersiul menyapaku yang tengah berdiri dengan santainya, seperti ingin mengajakku bermain. Biru warna langit di ujung atas sana sejauh aku memandang. Benar-benar tanpa ada asap kelabu yang merisau penglihatan. Hidungku dimanja dengan hirupan aroma terapi alam, sebuah sejuknya udara pagi. Bibirku semakin mudah melemparkan senyuman tulus dan penuh bangga memandang alam di sekitar daerah sini. Benar-benar asri desaku ini. Ini yang aku mau dari desaku yang terus-terusan hijau, subur, indah, dan permai. Para petani kembali menyapaku dari beberapa arah. Mereka tengah sibuk dengan sawahnya yang penuh padi yang menunjukkan untuk segera dipanen. Kubalas mereka dengan lambaian tangan penuh anggunnya.

          Aku sudah sering bermain ke tempat ini. Ayahku adalah seseorang yang mendapat julukan juragan padi di desa ini. Sawah terbesar dengan suburnya tanah di sana telah dimiliki ayahku. Ia sudah tua namun tak gentar mengelola sebidang tanah seluas ini. Untung ada dua anak muda yang setia membantunya dengan upah sewajarnya. Ada gazebo di ujung sana menjadi saksi keletihan ayah mengelola padi. Itu akan terbayar di saat musim panen tiba.
          Saat ini ia datang mendekatiku dan memukul pundakku secara halus. Aku tak bisa menutupi perasaanku saat ini.
          “Andai saja tidak ayah jual kala itu mungkin tidak menjadi seperti ini.”
          “Bukan seratus persen salahku. Masih saja kau belum memahami betul. Aku hanya ingin kalian masih hidup. Biarkan penguasa itu bahagia toh kita yang menderita sudah cukup senang dengan utuhnya keluarga kita.”
          “Tapi ayah tidak dewasa. Pilihan memang sulit tapi ayah justru berpikir keliru saat itu sehingga menjadikan ayah hanya memikirkan nasib keluarga ayah saja. Tanpa mau pikir panjang. Masih ada hal lain Yah seperti nasib alam kita.”
          “Ayah kala itu kalut karena mendengar ancaman rereka yang akan membunuh kita semua. Tanpa ragu maka kala itu aku serahkan saja tanah ini dengan harga murah. Kamu masih ingat Pak Bani yang kakinya hanya tinggal satu? Itu juga karena ulah mereka. Mereka tidak hanya nekat Nak, tapi juga kejam dan tak main-main terhadap ancaman mereka. Ayah takut jika itu juga akan terjadi padamu.”
          “Mana mungkin aku? Mereka sangat baik terhadapku kala itu”
          “Kamu belum paham sandiwara Nak. Kala itu kau masih terlalu kecil dan untuk saat ini, di saat usia dewasamu sekarang mungkin kamu sudah lupa. Mereka akan membuat kapok dan tak berkutik semua orang yang menghalangi niat busuk mereka. Termasuk aku dan keluargaku, temasuk anak-anakku. Jika aku masih tak ingin berikan tanah ini ke mereka mungkin nasib kita akan jauh lebih buruk dari Pak Bani. Sudah begitu tetap saja tanah ini jadi milik mereka.”
          “Tipe ayah yang kuat menjadi gentar sehingga semudah itu menyerahkan tanah ini ke mereka tanpa berpikir panjang. Lalu bagaimana nasib anak cucu kita nantinya jika semua dikuasai bos-bos besar?”
          “Sudahlah Nak hentikan! Kau belum pernah berada di posisi ayah saat itu. Kau masih terlalu kecil dan belum berkeluarga sehingga tidak tahu bagaimana rasa cinta kepada keluarga.”
          “Kepada keluarga? Lalu Ayah siapaku? Bukankah Ayah juga keluargaku?”
          “Maksudku anak-anakku Nak! Hentikanlah Nak. Peristiwa itu sudah 15 tahun yang lalu.”
          Ah sudahlah ini adalah perdebatan yang tak berguna. Semuanya sudah terlambat dan tak mungkin terulang kembali. Alam yang menyelimuti masa kecilku dulu sekarang telah tiada. Memang sangat berbeda saat kutengok saat ini. Sudah tak ada lagi tanaman hijau itu. Tanah yang sudah rata dengan bekas bangunan. Mereka yang seharusnya menanggung resiko malah diserahkan ke buruh-buruhnya yang langsung menerima imbasnya dari keserakahan mereka. Bos-bos besar hanya kaya harta tapi tak sedikit pun mereka memiliki hati nurani.
Ceritanya dimulai dari para petani yang diteror setiap hari. Siang dan malam mereka mendapat ancaman agar mau menyerahkan tanah mereka ke investor. Awalnya ayahku sama sekali tak gentar dan takut terhadap teroran mereka. Ayahku mengabaikan begitu saja. Ayahku adalah panutan warga. Luas tanahnya yang berkali-kali lipat dari pada yang lain membuatnya lebih disegani warga dan omongannya selalu didengar dan dipertimbangkan. Jika ayahku akan jual tanahnya, semua warga juga akan jual tanahnya. Begitu juga ketika ia tetap bersikukuh tak ingin jual tanahnya maka semua warga pun juga begitu.
Tapi semua itu tak berlangsung lama. Ancaman yang dikira hanya omongan besar semua berubah menjadi kenyataan yang benar-benar terjadi. Para petani disakiti fisik secara sembunyi-sembunyi. Tidak hanya itu, banyak penduduk kehilangan rumahnya karena dibakar oleh pengusaha nakal dan curang ini. Uang telah meniadakan nurani mereka. Ketegaran warga semakin goyah dan tak tahan dengan siksaan para teroris kapital itu. Juga ketika kaki seorang sahabat karib ayah telah mereka renggut. Ayahku adalah seorang pemimpin yang harus mengambil pilihan yang sulit. Pikirannya tak ingin anak-anak serta keluarganya menerima imbasnya. Ayahku terlalu khawatir ketika aku, Sabila, Vani, dan Budi sering diberi makanan dan uang. Pertama mereka datang dan terlalu baik perilaku mereka terhadapku membuat aku tak percaya bahwa orang dari kota itu begitu kejam dan pengecutnya. Tapi ayahku dengan rasa was-wasnya tidak demikian. Ia sangat khawatir anak-anaknya,  aku, Sabila, Vani, dan Budi akan diracun dengan uang dan makanan pemberian mereka.
          Singkat cerita ayahku menyerah dengan ancaman mereka. Takut terjadi apa-apa. ia menerima uang yang nominalnya sangat kecil dan tak sebanding dengan luas tanahnya ang diberikan. Uang memang seperti raja dan mengalahkan mereka yang hina sehingga terjerumus dalam lubang berlumuran dosa. Hijau padi yang menghiasi luas tanah yang luasnya berhektar-hektar mereka ganti dengan pabrik polusi yang begitu megahnya. Udara telah menyelimuti atmosfer kami. Gemuruh suara mesin giling yang begitu bisingnya memecahkan gendang telinga kami dan warga. Sampai-sampai tak tahan kami mendengarnya. Juga pernapasan kami yang semakin susah. Terlebih masih banyak mereka yang sedang membutuhkan masa pertumubuhan yang bagus dan kasihan anak-anak kecil di sini, di desa kami. Warga kecil yang tak berdaya semakin tak leluasa menetap di sini. Satu per satu pergi meninggalkan tempat kenangan ini. Mereka tak ingin membangunkan tempat perlindungan di desa industri ini. Akibatnya pekerja telah diganti. Mereka yang seharusnya adalah warga kami, diganti dengan orang luar sana dengan modal tenaga, KTP, dan ijazah SMA atau sederajat.
          Akhirnya desa kami yang dulunya sesak oleh kekayaan alam yang melimpah kini penuh dengan rakyat pendatang yang mencari penghasilan. Aku dan keluargaku memutuskan ikut meninggalkan tempat lahir kami dan mencari tempat yang lebih nyaman dan bersahabat. Lagi pula kami di sini sudah tak berhak dan tak punya apa-apa. Biarkan mereka yang bahagia dan menikmati usaha keras dan liciknya. Kemajuan jaman sudah kita alami dan mungkin sangat ketilnggalan jika desa kami masih saja bertani. Jika saja mereka tahu betapa besar kami bergantung terhadap luas tanah itu hingga setiap bulan kami menanti. Sabar kami tiada hasil dan mungkin hidup di lingkungan lain bisa saja memberi kesempatan kami untuk bertanam. Yang aku bingungkan kita hidup di lautan ruangan. Mungkin ini saatnya kami harus berbagi ruang untuk menghirup meskipun kami harus merelakan udara yang kita punya. Kami harus memulai dari nol mencari udara untuk menghirup dan awal kehidupan.
          Ingin sebenarnya aku mengenang masa lalu dengan bernostalgia dengan lingkungan kecilku. Bukan hanya indahnya desa cocok tanam yang tidak kujumpai, bahkan megahnya bangunan pabrik tidak juga kujumpai. Tanah yang meluas dengan asrinya telah berubah menjadi negeri industri, namun aku tinggal menuju dewasa rupanya juga telah berubah menjadi hamparan yang meluas dengan puing-puing bekas bangunan. Api telah meluluh-lantakkan bangunan ini. Mungkin ini sebagai teguran dari Tuhan setelah apa yang mereka lakukan terhadap kami. Mereka rebut tanah kami secara paksa, sekarang mereka berikan saja usaha mereka ke Tuhan. Buruh pabrik harus menerima akibatnya. Banyak yang sibuk bekerja ketika api itu menghabiskan bangunan dan seisinya sehingga tubuh mereka juga ikut habis dimakan api. Investor merugi bertrilyun-trilyun dan tak tahu mau kemana mencari gantinya. Mereka yang sabar bisa saja menerima dengan lapang dada tetapi ada juga mereka yang memilih mengakhiri hidupnya dengan memotong tangan mereka sendiri. Mereka sudah lupa dengan Tuhan yang memberi mereka nyawa. Inilah alasannya karena mereka sudah cukup pusing karena menghitung gepokan uang di brankasnya selama ini.
          Masa lalu susah untuk diulang. Alam yang subur telah mereka renggut sehingga menjadi rusak tanpa bisa mereka kembalikan seperti semula. Alam marah karena ulah manusia yang serakah membuatnya rusak poranda. Hidup itu akan seperti ini jika manusianya masih serakah dan tak ada lagi tepa selira dengan alam. Uang yang terbuat dari logam atau kertas seakan membuat mereka lupa dan ingin terus berbuat lebih. Itulah sifat manusia. Alam yang hanya bisa dikelola telah dikalahkan dengan logam dan kertas berisikan nominal ciptaan manusia. Logam dan kertas telah merusak alam. Kini giliran alam yang berkuasa dana membalas sakit hati juga perih yang mereka rasa.
TAMAT
Tag = #CerpenAlam #CerpenBahasaIndonesia #CerpenNasihat #CerpenPenyesalan #CerpenKeluarga
         


Tidak ada komentar: